Sabtu, 12 Agustus 2017

Pang Suma. Cerita Pejuang Dayak dari Kalimantan Barat. (Perang Majang Desa)


Banyak orang yang kurang mengetahui kisah Pang Suma, pahlawan Kalimantan Barat yang telah memberikan jasa besar dalam perjuangan melawan Jepang.
Sebagai salah satu keturunan Pang Suma dan keluarga, saya berniat memperkenalkan kembali artikel yang pernah dibuat sebelumnya guna memperkaya informasi sejarah yang baik untuk kita ketahui. Melalui media sosial yang telah ada, maka kami berniat mengangkat kembali siapa sosok Pang Suma dan apa saja yang telah beliau lakukan dalam perjuangan melawan Jepang di Kalimantan Barat.
Pang Suma (Panglima Menera) adalah anak ke 3 dari 6 bersaudara. Terlahir dengan nama Bendera bin Dulung atau ada juga yang memanggilnya Menera, adalah tokoh pejuang dari suku Dayak yang tinggal di Dusun Nek Bindang di tepian Sungai Kapuas Desa Baru Lombak Kecamatan Meliau Kabupaten Sanggau. Nama Pang Suma sendiri memiliki arti Bapak Suma. Panggilan dengan menggunakan Pang merupakan satu kebiasaan penduduk setempat memanggil nama orang tua dengan menyebut nama anaknya yang paling besar. Agar lebih sopan dan hormat dari pada menyebut nama langsung orang tersebut.Konon Pang Suma berjuang dalam membebaskan negerinya dari penjajah hanya dengan berbekal keberanian dan sebilah Nyabur (sejenis mandau/parang panjang). Sebelum memulai perlawanan Pang Suma sudah menyebar “mangkok merah” sebagai tanda adanya ancaman terhadap orang dayak. Tetapi karena pada masa itu sulit komunikasi dan transportasi sehingga “berita” mangkok merah diterima terlambat oleh beberapa suku Dayak. Pang Suma sendiri berhasil mengumpulkan laskar perlawanan yang dinamakan Angkatan Perang Majang Desa
Pada pertengahan Februari 1945 di komplek Nitinan, di sebuah kampung yang bernama Sekucing (Sekarang terletak di lingkungan Benua Labai yang berada di batas antara kecamatan Meliau Kabupaten Sanggau dengan Kecamatan Balai Bekuak Kabupaten Ketapang) terjadi pembunuhan pimpinan perusahaan perkayuan berkebangsaan Jepang bernama Kusaki yang mati tergeletak tanpa kepala. Pelakunya adalah Pang Suma. Peristiwa berdarah itu adalah merupakan gejolak awal dan rentetan peristiwa yang muncul sebagai bentuk perlawanan para Patriot suku Dayak. Beberapa hari kemudian terjadi lagi di perusahaan perkayuan Niciran di Pulau Jambu Kecamatan Tayan. Soet Soegisang mati dengan leher terpenggal. Berita terbunuhnya pemimpin perusahaan perkayuan milik Jepang itu , seketika menjadi ramai di perbincangkan.
Makam PangsumaDari Pontianak kemudian dikirim, kompetai-kompetai yang terlatih dengan pimpinan Kaisu Nagatani. Pada saat itu yang memegang kekuasaan Jepang sebagai bunken di Tayan adalah Miagi dan sebagai Guncho di Meliau adalah Demang Adat Dogom Siregar. Nagatani bertekat untuk menghancurkan laskar Pang Suma dan membunuh semua yang terlibat, termasuk keluarganya. Sesampai di Meliau, mereka menjadikan rumah seorang pedagang China bernama Kiung Tjhiu Siong sebagai markas pertahanan sementara. Dengan di temani oleh Mantri Mamboe (menantu Demang Adat Dogom) dan seorang polisi Guncho bernama Yeb menjadi penunjuk jalan, pada esok harinya mereka menyeberangi sungai Embuan. Tujuan mereka adalah pedalaman Desa Kunyil. Tengah malam mereka sampai ke Kampung Balai Putih. Keesokan harinya mereka meneruskan perjalanan ke Desa Kunyil. Desa Kunyil pun berhasil pasukan Nagatani kuasai. Kepala Desa Kunyil bernama Temenggung Mandi (Orang Kaya Mandi) atau dikenal dengan nama panggilan Pang Dandan. Pang Dandan sudah tiga hari tidak berada di rumah.
Sebuah bangunan bekas kantor loging KKK dijadikan markas oleh pasukan Nagatani. Kemudian di suatu malam dikomando oleh Pang Suma dan panglima suku dayak lainnya diikuti oleh berpuluh-puluh anak buahnya, yang tergabung dalam "Angkatan Perang Majang Desa", tiba-tiba menyerbu markas Nagatani di kantor bekas loging KKK. Kaisu Nagatani berhasil dibunuh oleh Pang Suma, lalu orang kedua nya yaitu Nakamura, berhasil di penggal kepalanya oleh Pang Dusi. Dalam pertempuran itu juga hadir Pang Diyo, Pang Linggan, Panglima Burung dan Jampi, mereka turut serta memenggal kepala Kepala pimpinan Heiho yang lain bernama Yamamani. Perwira Kaigun lain , Yamamoto yang mencoba melarikan diri dengan berlindung di rumah seorang China bernama Djap Kio , berhasil dibunuh dengan cara dipenggal kepalanya oleh Pang Suma dengan bantuan Pang Linggan. Mantri Mamboe berhasil melarikan diri bersama dua anak buahnya, sedangkan Yeb dan anak buahnya menggabungkan diri dengan pasukan Pang Suma.
Pembunuhan terhadap pasukan Jepang yang dipimpin oleh Pang Suma mengejutkan pihak Jepang. Mantri Mamboe dan Guncho Amat Dogom Siregar, dituntut oleh pihak Jepang agar bertanggung jawab. Mereka kemudian dikurung di bekas gudang penyimpanan garam di Tayan. Bersama mereka dikurung ; Soelaiman (juru tulis Guncho), Abang Sjahdansjah (sekretaris damang), Huseein , Madrus, Mas Dermawan, Raden Mochtar, Mas Minan, Liem Tjung Hie dan Liem A Thung. Mas Dermawan dihukum pancung karena sikap kerasnya kepada Jepang ,sedangkan Amat Dogom Siregar dan Mantri Mamboe kabar terakhir ikut dibantai Jepang.
Kembali ke Pang Suma. Oleh karena keberhasilannya, Pang Suma merupakan sosok yang dianggap Jepang membahayakan kedudukannya, kemudian Jepang mendekati teman seperguruan Pang Suma untuk mencari kelemahan dan membunuh Pang Suma. Sementara itu Pang Suma dan Raden Iting (pewaris kerajaan Meliau) mendirikan markasnya di Kampung Rambai. Laskar Pang Suma berhasil menduduki Kantor Guncho Meliau , sementara pasukan Raden Iting memperkuat pertahanan mereka di seberang. Sejak ditangkapnya Demang Adat Dogong Siregar , pemerintahan distrik Meliau Vakum.
Pada 24 Juni 1945, Pang Suma atau disebut juga Panglima Menera memasuki Meliau. Meliau sendiri berhasil direbut pada 30 Juni 1945. Pada 14 Juli 1945 bala tentara Jepang menyerbu Meliau dan berhasil menguasai beberapa wilayah Meliau. Tanggal 17 Juli 1945 Pang Suma menyerbu markas Jepang di Kantor Guncho Meliau. Pada hari itu, Pang Suma telah mendapatkan pertanda buruk. Ujung Nyabur (pedang) yang dimilikinya patah, sebelum ia menyerbu markas Jepang di Kantor Gunco Meliau. Pertanda itu pun menjadi kenyataan. Pang Suma tertembak dipaha kaki yang merupakan sumber kelemahannya (kelemahan Pang Suma didapat dari saudara perguruannya), tertembak bersama adiknya. Sang adik dapat menyelamatkan diri, namun perjuangan Pang Suma berakhir dengan meninggalnya beliau di bawah jembatan (saat ini lokasi jembatan di sebelah dermaga Meliau). Turut menjadi korban Apae dan Panglima Beli yang tewas. Di sekitar Kantor Guncho Meliau Panglima Ajun dan Pang Linggan tertembak dengan luka yang parah. Tetapi perlawanan dari suku Dayak tidak berakhir. Karena masih banyak penerus-penerus pejuang Dayak.
Sebuah peluru menembus pahanya yang konon merupakan rahasia kekuatan dari Panglima Perang ini. Namun, disaat menahan kesakitan itu, ia sempat berpesan kepada rekan seperjuangannya yang membopongnya dari lokasi perang. "Tinggal aja aku disito uda nada aku to idop lagi, pogilah kita, maju terus berjuang," pesan Pang Suma dalam bahasa Dayak seperti yang dikutip dari "Pang Suma Riwayat Hidup dan Pengabdiannya" yang artinya tinggalkan saja saya di sini saya tidak bisa hidup lagi pergilah kamu maju terus berjuang. Demikianlah pada hari itu gugur seorang Pahlawan Bangsa , yang berjuang untuk rakyatnya.
Bagi orang Dayak perang menganut doktrin perang semesta (seperti perang puputan di Bali). Semua unsur masyarakat harus terlibat. Penyelesaianya juga harus melalui proses adat yang diadakan melalui ritual tertentu. Tanpa semua proses itu maka perang masih dianggap masih berlangsung. Contohnya sekelompok orang Dayak yang dipimpin Panglima Burung datang menyerang Pontianak untuk mencari serdadu Jepang untuk melakukan pembalasan terhadap Perang Majang Desa yang dipimpin Pang Suma, padahal Jepang sudah menyerah dan keluar dari Indonesia.
*Pada Juni 1980, Laksus Pangkopkamtibda Kalbar, Untung Sridadi bersama gubernur Kalbar Soedjiman melakukan serah terima dari ahli waris APMD seperti YAM Linggi, dan Agustinus Timbang berupa 5 tengkorak pasukan Jepang sewaktu Perang Dayak Desa dan sebilah samurai milik Nagatani. Selanjutnya barang-barang ini diserahkan ke Pemerintah Jepang diwakili K. Tasima dan wakil keluarga Nagatani dan Yoshida dari Kedutaan Besar Jepang di Indonesia di Jakarta untuk dibawa pulang ke Tokyo , Jepang.* Menurut catatan penulis Belanda. Benteng Belanda di Sintang dan Sanggau selalu mendapat serangan tanpa henti dari Orang Dayak, sehingga terpaksa mereka tinggalkan dan bertahan di Pontianak.
Guna mengenang kepahlawanan Pang Suma namanya diabadikan :
1. Bandara di Putusibau (Kapuas Hulu - Kalbar) dinamakan Bandara Pang Suma
2. GOR Pontianak
3. Nama Asrama Mahasiswa di Pontianak (sempat terkenal sewaktu terjadi aksi Penolakan FPI di Kalbar 2012)
4. Nama Jalan
Sumber :Sumber lisanBuku Mandor Berdarah , karangan Syafarudin Usman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar